Kamis, 03 Januari 2013

Cerpen "Hanya Tanah Kubur Yang Kau Tinggalkan"



HANYA TANAH KUBUR YANG KAU TINGGALKAN
Karya : Sri Mulyani

Dia. Yah dia yang aku pikirkan saat ini, yang aku rindukan, yang aku tidak tahu keadaannya, yang aku lukiskan keindahan pribadinya, yang aku bayangkan setiap senyum manisnya. Dulu dia selalu tersenyum ramah, yang selalu menyapa keramahan alam, menyapa keramahan dirinya sendiri. Dia yang selalu memikirkan orang lain. Dia yang selalu menolong dengan ketulusan, yang selalu menyapa disetiap apa yang dijumpainya. Sekalipun itu kupu-kupu yang entah sengaja hinggap atau tidak sengaja hinggap di pundaknya, seakan ingin mengajaknya bercanda. Dia yang sedari kecil aku kenal dengan keunikan yang ada pada dirinya. Dia cantik juga manja. Kebersamaan yang tak pernah terputus di mana ada dia disitu ada aku. Yah pasti ada aku yang siap menjaganya. Tapi, sekarang aku tak tahu dia dimana, dia yang dulu tak lepas dari penjagaan mataku, dan sekarang mataku tak mampu menembus atau bisa menemukan dia di mana. Sekalipun itu bayangannya.
Sejak kepindahan keluargaku ke luar kota, dikarenakan ayahku harus pindah kerja ke kota lain, memaksaku untuk ikut keluarga pindah ke tempat ayah ditugaskan oleh perusahaannya. Memang sedih, karena aku harus meninggalkan sahabat terbaikku sedari kecil hingga kini sudah SMA. Lulus SMP aku harus ikut ayah pindah ke luar kota, awalnya aku menolak untuk ikut, dan ingin di sini saja. Di kota yang penuh kedamaian, kesederhanaan dan pastinya kota yang terkenal dengan sebutan kota pelajar itulah kotaku Yogyakarta. Tapi, yang memperkuat aku tidak ingin ikut keluarga pindah, yaitu Intan. Intan sahabatku sedari kecil. Tapi. Ayah tetap memaksaku ikut dengan mereka, dengan alasan “kalau kamu di sini, siapa yang menjaga serta mengontrolmu, ayah tidak mau kamu merepotkan nenekmu, sedangkan kamu adalah tanggungjawab ayah. Dan kamu anak satu-satunya ayah. Ayah ingin merawat kamu, Nak, dengan cinta kasih ayah kepadamu!” Alasan penuh ketulusan inilah yang tak berani untukku menolaknya.
Aku pun mempersiapkan apa saja yang akan dibawa ke kota yang baru yaitu Jakarta. Kota yang menurut berita, kota metropolitan. Kota yang terkenal dengan kemacetan, kebanjiran, dan gedung-gedung pencakar langit. Dari gambarannya saja aku tak menyukainya. Tapi ya mau bagaimana lagi. Aku harus ikut, dan besok pagi tepatnya pukul 08.00 aku dan keluarga harus terbang ke Jakarta. Karena sibuknya dengan keluarga yang mempersiapkan apa saja yang hendak dibawah, juga ngobrol-ngobrol dengan keluarga besar karena besok kami akan pindah. Aku lupa, bahwasanya aku punya sahabat. Sahabat yang dimana ada dia pasti di situ ada aku. Aku lupa mengiriminya surat, ataupun pamitan padanya. Di situ ada penyesalan, kenapa aku bisa lupa.
Malam ini, keindahan bintang sangatlah indah, dengan kearifannya memberi ketentraman pada setiap jiwa yang melihatnya. Memang ia tampak kecil di kejauhan sana, di tempat tertinggi yang siapapun sulit menjangkaunya, kecuali mereka, para Astronot. Aku pun menikmati, mengandaikan, seandainya aku masih di Jogja, tentu aku sekarang lagi bersama Intan. Menikmati malam berbintang ini berdua, bercanda, karena kebetulan rumah kami berdekatan. Sudah tiga tahun aku di Jakarta, tanpa pulang ke Jogja, tanpa kabar pula dari Intan. Kesibukanku membuat aku sedikit lupa padanya. Namun tak kupungkiri dikala malam dan sendirian, aku merindukannya.
“Lagi apa ya Intan, mungkin sekarang dia juga sudah kuliah, pasti dia tambah cantik, hemmm, kenapa tidak aku main saja ke Jogja, atau aku kuliah saja di sana, sekarang kan aku sudah lulus SMA, dan ingin masuk kuliah, kenapa aku tidak kuliah di sana, dengan begitu aku bisa ketemu Intan lagi.” Gumamku seakan aku mengajak rumput yang goyang berbicara.
“Ma, Mama..”
“Iya Rio, ada apa? Kok teriak-teriak sih, sini Mama di kamar”
“Ma, Rio kan sudah lulus SMA, dan nantinya akan masuk kuliah, hemm boleh tidak Rio memilih sendiri mau kuliahnya dimana”
“Iya sayang, memang kamu harus memilih sesukamu, Mama tidak mau memaksamu dalam hal ini, kamu berhak untuk memilih sesuai dengan bakat dan minatmu, Mama dukung saja, dengan uang, hehe” Canda Mama
“Kalau begitu, boleh Rio kuliah di Yogyakarta”
Mama terdiam.
“Boleh yah Ma, Rio rindu Jogja, rindu Malioboro, terutama rindu  Intan, Ma” Jawab Rio memelas
“Baiklah, kalau itu sudah keinginanmu, nanti Mama coba bicara sama Papamu.”
“Asiikkk, makasih ya Mamaku tersayang,” Rio langsung memeluk Mamanya
“Dasar anak manja”
“Hehehe”
Jogja. Akhirnya aku kembali ke lingkunganmu Jogja, lingkungan yang penuh keramahan kota, keramahan orangnya nan bersahaja. Tidak seperti disini. Setelah mendapat persetujuan dari orangtuanya. Rio pun tak ingin memperpanjang waktu. Dia langsung bergegas bersiap-siap untuk pergi ke Jogja dan kuliah disana. Tepatnya siang nanti, pukul 13.00 Rio akan terbang ke Jogja dengan pesawat Lion Air. Tidak harus menunggu berjam-jam untuk tiba di Jogja, belumlah habis satu lagu yang di dengarnya. Pesawat sudah sampai. Betapa gembiranya hati Rio, karena akhirnya dia bisa kembali ke Jogja. Awalnya dia akan menginap di rumah nenek. Tetapi, di perjalanan dia berpikir lain. Kembali dia teringat Intan. Sebaiknya aku ke rumah Intan terlebih dahulu, sambil memberi kejutan, karena sudah 3 tahun lamanya kita berdua tanpa kabar. “Pasti sekarang  dia sudah dewasa, dan cantik, bisa-bisa aku suka padanya, hehe” Gumamku.
Tanpa sadar, lamunan Rio telah membawa dia ke depan rumah kecil, dan sederhana, rapi, dan indah karena di depan rumah itu terdapat halaman kecil yang ditanami bunga-bunga yang semakin mempercantik rumah mungil itu. Tapi, kok sepi ya. Tanpa pikir panjang Rio pun turun.
“Assalammualaikum” Rio mengetuk rumah itu dengan diikuti ucapan salam
Lama tak terdengar ada orang menjawabnya, Rio pun kembali mengucapkan salam dan tak jua menemukan jawaban. Kemana ya orang di rumah ini. Intan juga kemana kok dia tidak membukakan pintu. Lalu, aku berinisiatif untuk bertanya dengan tetangga.
“Pak, maaf, mau numpang tanya.?”
“Oh ya, mau tanya apa ya, Mas”
“Pak Bowo pemilik rumah itu kemana yah, kok sepi sekali. Intan juga tidak ada sepertinya”
“Oh pak Bowo. Biasanya pak Bowo dan istrinya, Bu Lastri. Kalau hari jum’at sore sering ke pemakaman”
“Ke pemakaman, memang siapa yang meninggal, Pak. Kalau boleh saya tahu?”
“Yang meninggal anak Pak Bowo yang satu-satunya itu, Intan. Ya sekitar satu 2 minggu yang lalu. Kalau boleh saya tahu. Mas ini siapa yah?”
Lama Rio tak menjawab pertanyaan Bapak itu. Dia tenggelam dalam ombak yang menggulung dirinya yang siap membawanya pergi jauh di kedalaman lautan. Setetes demi tetes airmatanya jatuh bak hujan yang jatuh kebumi tanpa ada yang mampu menghalanginya. Teriakan hati, menjerit bak pentir yang siap menyambar dan melululantahkan apa yang ia benci. Hatinya hancur, harapannya sia-sia. Kebahagiaan karena ingin berjumpa dengan seorang sahabat yang amat dia sayangi, penantian panjang pun lebur dengan sekajab saja tanpa penuh rasa kasihan sedikitpun.
“Saya Rio, Pak. Temannya Intan dari Jakarta. Terimakasih Pak atas informasinya. Dan sebaiknya saya menyusul saja ke makamnya”
Sambil berjalan Rio tak hentinya menangis, kenapa Intan meninggalkanku. Kamu jahat Intan, bukankah kau berjanji persahabatan kita tidak akan terpisahkan. Intannnn……teriaknya penuh penyesalan karena meninggalkan Intan ke Jakarta begitu saja tanpa pamit padanya. Tibanya di pemakaman. Rio mendapatkan Pak Bowo dan Bu Lastri sedang mendoakan Intan. Tampak sekali wajah penuh kehilangan di kedua wajah orang tua itu.
“Assalammualaikum, Pak” Sapa Rio
“Waalaikumsalam” Kedua orang tua itu menjawab sembari menoleh, siapa yang datang. Ada suatu kepanglingan di antara wajah kedua orangtua itu melihatku.
“Kamu siapa ya, Nak?” Tanya mereka
“Bapak dan Ibu tidak mengenali saya,? Saya Rio Pak, Bu. Temannya Intan dulu. Teman Intan sedari kecil hingga kami SMP, dan SMA saya pindah ke Jakarta karena ikut orangtua.”
“Owalah Nak Rio toh, kapan sampai Jogja,?”
“Baru saja, Pak, Bu. Tadi saya ke rumah Bapak dan Ibu. Kata tetangga mungkin Bapak sama Ibu ada disini, lalu saya menyusul dan ternyata benar. Bapak dan Ibu memang ada disini. Kalau boleh saya tahu Pak, apa yang menyebabkan Intan meninggal. Apakah dia sakit,?” Tanya Rio ingin tahu
“Iya, Nak. Intan sakit. Dia mengindap kanker otak stadium akhir. Kami, orangtua tidak tahu kalau Intan mengindap penyakit yang membahayakan itu. Karena anaknya tampak selalu sehat. Tapi memang seminggu terakhir, dia sering mengeluh karena sakit kepala. Sering kami ajak ke dokter tapi dia menolak dengan alasan hanya pusing biasa, mungkin karena kecapek’an. Tapi ternyata, Intan mengindap kanker ganas. Sudah dua minggu dia pergi dari kita. Tapi, sebelum dia pergi. Tempo hari, dia pernah cerita sama ibu. Kalau dia rindu sama Nak Rio. Dia sering bertanya kok Rio jahat yah Bu, tidak pernah mau lihat Intan lagi disini. Pergi tanpa pamit sama Intan. Eh tidak tahunya dia pidah ke Ibu kota. Itupun kalau Intan tidak mencari tahu ke rumah neneknya, mungkin Intan tidak tahu dia hilang kemana. Begitulah Nak ceritanya. Intan sangat kehilangan Nak Rio 3 tahun ini. Dia lebih suka murung di kamar, tidak pernah keluar rumah, dan lebih suka menulis buku Diary.”
“Maafkan saya Bu, kemarin Rio buru-buru. Kalau boleh Rio mintak sesuatu, boleh tidak Rio meminjam buku Diary Intan. Sebagai balasan rasa rindu Rio pada Intan.”
“Oh boleh, Nak. Ayo kita pulang kerumah Ibu”
Mereka pun akhirnya pulang, tidak butuh waktu yang lama untuk sampai ke rumah Intan. 15 menit sudah mereka berbincang menuju rumah. Kini mereka sudah ada di depan pekarangan rumah. Bu Lastri langung masuk rumah dan mengambil buku Diary milik Intan. Setelah memberikannya kepada Rio. Rio pun pamit pulang ke rumah neneknya. Karena daritadi neneknya sudah menelpon. Khawatir kok belum sampai juga kerumah. Rio pun pulang dengan membawa buku Diary milik Intan. Paling tidak ada suatu benda yang bisa membawanya kepada Intan. Yang siap membalas rasa rindunya kepada Intan. Sahabat karibnya itu.
Setiba di rumah nenek. Rio di sambut gembira oleh nenek dan langung menyuruh Rio makan. Usai makan Rio permisi untuk istirahat. Karena merasa sangat lelah. Bukan kelelahan fisik, melainkan kelelahan hatinya dalam menunggu perjumpaannya dengan seseorang yang akhirnya orang yang ia sayangi telah pergi meninggalkannya. Ini pembalasan yang jauh lebih kejam daripada apa yang telah dia lakukan dengan Intan. Dia masih bisa pergi ke Jakarta dan kembali pulang ke Jogja. Nah kalau Intan, mana mungkin bisa pulang ke Jogja, termasuk ke sudut kecil disisi kota manapun. Ungkapnya dalam hati.
Sambil berbaring, Dia membuka lembar demi lembar buku Diary itu. Sesekali dia tertawa karena menemukan tulisan Intan yang lucu mengocok perutnya. Sesekali juga dia menyesal, karena mendapati tulisan Intan yang menyeyet hatinya. Disitu dituliskan “Rio Jahat sudah meninggalkan Intan”. Maafkan aku Intan, bukan maksudku seperti itu. tapi, mau apa lagi, tak ada alat yang bisa kubuat untuk memutar waktu kembali ke masadulu, jika alat itu ada, pasti sudah ku putar kembali, dan tidak akan kutinggalkan kamu lagi. Lalu dia melanjutkan lagi membuka lembar demi lembar Diary Intan. Ada sesuatu yang membuat dia kaget, sedih, menyesal, menangis, dan tentu sesuatu yang dia tidak percaya pada tulisan intan :

Dear Rio
Temanku, sahabatku, pahlawanku, Yang selalu ada kemanapun aku berada, Yang selalu menjagaku, dan yang selalu menyayangi aku. Dulu, saat kita masih kecil. Kamu selalu membelikan aku ice cream, selalu membonceng aku ke sekolah pakek sepeda. Dan dulu kita di bilang pacaran. Saat itu kita sempat marah, karena dulu kita masih terlalu kecil untuk memahami dan mengetahui apa itu pacaran.
Dulu selalu kudapati kamu, kapanpun aku membutuhkanmu, kamu selalu menjagaku tanpa aku memerlukanmu, kamu selalu menghiburku dengan tingkah konyolmu itu. walau saat itu, aku tidak dalam keadaan sedih.
Tapi sekarang, aku tidak tahu kamu dimana Rio-ku, Rio yang selalu menjaga aku, Rio yang selalu membelikan aku ice cream, Rio yang selalu membonceng aku, Rio yang selalu membuat aku tertawa, dan Rio yang selalu membuat aku bahagia. Kamu dimana Rio. Kamu dimana?
Aku berteriak memanggilmu disini, tapi kamu tidak juga datang, tidak seperti dulu. Aku memohon kamu menemui aku, tapi kamu diam saja disana, seakan kamu tidak mendengar suara parauku memanggilmu. Aku menangis merindukanmu, tapi kamu tertawa di sana. Aku menyanyangimu Rio. Aku butuh kamu. Tapi, kamu pura tak mendengar teriakanku. Aku sakit Rio. Tapi, kamu diam saja tanpa berbuat sesuatu. Kamu jahat. Kamu jahat.
Sayang, yah baru saja aku menuliskan kata sayang. Mengungkapkan rasa sayang di buku ini. aku sendiri tidak mengerti Rio, rasa sayang apa ini, rasa sayang sahabat atau rasa sayang karena sekarang kita sudah dewasa dan mengerti cinta. Entahlah, tapi benar ini adanya, aku menyayangimu, aku kehilanganmu yang dulu selalu menjagaku. Kau sahabat karibku. Kamu ingat Rio, pernah kita mengucapkan ikrar. Bunyinya “Dimana ada Intan, disitu harus ada Rio”, juga “Dimana ada Rio disitu juga harus ada Intan” lalu kita berteriak yeee sahabat selamanya.
Rio, banyak cerita yang ingin aku ceritakan kepadamu, tapi kenapa kamu tutup telinga di sana. Aku juga ingin mengajakmu main. Tapi, kamu terlalu sibuk di sana. Aku juga ingin mengajakmu makan nasi kucing di sini. Di angkringan Pak Towo, ingatkan!. Tapi, mungkin kamu sudah lupa sama makanan Jogja seperti itu. Aku ingin kamu pulang, dan kembali. Tapi, sepertinya memang kamu telah pergi. Kalau begitu aku juga ingin pergi Rio, jika kau begitu. Aku sendirian disini. Sedangkan aku selalu hidup bila bersamamu. Pulanglah Rio, temui aku dalam penantianku ini, atau aku juga akan pergi. Pergi bersama kerinduanku padamu. Dan biarlah angin yang membawamu kesini.
Aku tidur dulu ya Rio. Hari juga sudah malam. Aku lelah menunggumu setiap malam, juga setiap hari. Tapi kau tak kunjung datang. Aku mau tidur, semoga Tuhan memelukku, seperti halnya dulu kamu memelukku saat aku jatuh dari pohon rambutan di belakang rumahku. Saat itu kita jatuh bersama dan tertawa. Tapi saat ini, aku ingin di peluk Tuhan bersama kesedihanku karena kau terlalu jahat dan sudah terlalu lama meninggalkanku. Hingga aku pun mati, hatiku mati, hidupku mati. Pulanglah Rio. Temui aku, dapati aku, dan bangunan aku.

By INTAN
Intan. Maafkan aku Intan, aku juga menyayangimu. Aku menyayangimu lebih dari sekedar sahabat. Semoga Tuhan lebih menyayangimu di sana. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi yang sempurna untukmu. Tapi, Tuhan akan menyempurnakan cintaku padamu. Cinta yang dulu tumbuh karena persahabatan, dan sekarang cinta itu tumbuh. Karena kedewasaan kita. Meski aku teramat menyesal, karena terlambat mendapatimu, Intan. Belum sempat juga mengatakan cinta padamu. Ternyata ada yang lebih dulu menyayangi dan menginginkanmu. Yaitu Dzat Yang Maha Sempurna, yang lebih bisa memberi kesempurnaan cinta. Yang lebih kekal. Semoga cinta Tuhan telah engkau dapatkan di sana sebagai penebus kesalahanku padamu. Dan sebagai penebus penantian panjangmu padaku.

                                                                        Yogyakarta, 04 Januari 2013; 00:45 WIB

Rabu, 02 Januari 2013

ARTIKEL "PLAGIAT JUGA KORUPSI"



PLAGIAT JUGA KORUPSI
Oleh : Sri Mulyani

Plagiat atau plagiator. Tentu bukan hal asing lagi bagi kita mendengar kata-kata itu. Orang yang diberi gelar plagiator sama halnya pencuri, karena mengambil milik orang lain tanpa izin. Plagiator sama dengan korupsi. Sama-sama mengambil milik orang lain tanpa rasa malu.
Bentuk plagiat yang biasa dilakukan oleh seorang plagiator pada umumnya menjiplak atau mengambil tulisan orang lain tanpa seizing dari hak cipta itu sendiri. Plagiator bisa disetarakan dengan korupsi yang sama-sama merugikan pihak-pihak yang dirugikan oleh perbuatannya yang tidak bertanggungjawab itu. Seorang korupsi, biasanya yang dikorupsikan adalah berupa materil, dengan cara mengambil milik orang lain yang berupa uang, dan biasanya hal ini sering dilakukan oleh pemimpin pejabat negara, seperti anggota Dewan, Bupati, Para Menteri dibidang politik, yang merasa kekuasaan ada diatas tangan mereka. Namun, perlu diketahui bahwa korupsi tidak hanya biasa dilakukan oleh para pejabat negara, pemimpin negara yang berkuasa, tetapi korupsi juga bisa dilakukan  dalam dunia pendidikan seperti guru dan dosen, siswa dan mahasiswa. Mengapa dikatakan guru dan dosen, siswa dan mahasiswa juga bisa melakukan praktek korupsi, padahal kita tahu bahwa menjadi guru atau dosen, menjadi siswa dan mahasiswa apa yang mau di korupsi. Tentu timbul pertanyaan di benak kita, gaji guru kecil, dan siswa apa yang mau dicuri, sedangkan kebanyakan dari siswa adalah belajar belum difokuskan untuk bekerja. Jawabannya sederhana sekali. Yakni dengan cara plagiat. Kenapa dikatakan plagiat sama halnya dengan korupsi. Dan kenapa seorang plagiat disamakan dengan seorang korupsi. Padahal dari struktur dan cara pengambilan hak milik orang lain, dan yang diambil pun berbeda.
Coba kita pikir, dan mencernanya dalam kehidupan khususnya. Semua bisa menjadi seorang korupsi. Karena korupsi tidak hanya berbentuk uang saja tapi juga bisa dengan cara mengambil karya orang lain. Dalam dunia pendidikan, misalnya kita contohkan saja. Seorang guru atau dosen bisa memplagiat tulisan orang lain, misalkan saja dalam bentuk karya ilmiah. Mengapa seorang guru atau dosen harus mengambil karya orang lain. Bukankah dia adalah seorang guru yang berintelektual. Bukankah dia juga bisa menghasilkan tulisan sendiri yang mungkin lebih bagus dari apa yang dia curi.
Karya ilmiah yang telah dicuri tentu banyak sekali kegunaannya. Bisa saja, karya itu dijadikan sebagai bahan untuk mengisi seminar, dan kebetulan guru tersebut ditunjuk sebagai nara sumber. Atau bisa juga, karya ilmiah yang diambil tersebut digunakan untuk tesis (S2). Bagi guru atau dosen yang mengambil karya ilmiah orang lain, tanpa seizing penulis aslinya, lalu dia dengan lincah dan dengan beraninya mempresentasikan hasil tulisan itu di depan semua orang di forum seminar, sebutkan saja. Bagi orang yang melihatnya, dia bisa dikatakan nara sumber yang cerdas, smart dan intelektual, dan dari hasil presentasi tersebut. Dia mendapatakan penghargaan, lalu pulang membawa amplop (uang). Uang dari hasil mencuri karya tulis orang lain.
Penulis tidak menunjuk siapa pelaku dan siapa orangnya, karena hal semacam ini bukanlah hal yang baru bagi kita. Itu hanya sebagai contoh  bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang politik yang berkuasa tetapi hal yang sederhana pun bisa dikorupsi dengan cara mengambil karya tulis orang lain.
Siswa dan mahasiswa juga bisa menjadi seorang korupsi, yaitu korupsi cilik yang baru belajar mengambil hak milik orang lain. Padahal, kemajuan negara tidak hanya terletak pada kejujuran pemerintah saja, melainkan juga ada partisipasi dari masyarakat dan peserta didik yang sedang mengenyam ilmu agar menjadi SDM yang bermutu, berkualitas, jujur, dan berkarakter. Yang diharapkan dapat membawa perubahan dimasa yang akan datang, serta mampu menjadi jiwa anak bangsa yang berkarakter, menjunjung tinggi martabat bangsa, dan guru harus bisa menjadi pembimbing yang baik, dan dapat mengasuh anak didik dengan baik tanpa keluar dari kodrat alamnya. Seperti asas Ki Hadjar Dewantara dengan simbol Tutwuri Handayani yang harus bisa diterapkan untuk menjadikan anak bangsa yang berpendidikan karakter.
Bagaimana bangsa ini akan menjadi bangsa yang berkarakter, juga berpendidikan karakter, jika siswa dan gurunya sudah berani menjadi bagian dari korupsi. Meski hanya baru menjadi korupsi cilik yang memplagiat tulisan orang lain. Bagaimana mungkin kita bisa berteriak bahwa pemerintah biangnya korupsi dan banyak mengorbankan masyarakat, sedangkan seorang siswa dan guru saja berani melakukan plagiat. Namun, tidak semua siswa dan guru demikian. Itu hanyalah gambaran masyarakat Indonesia saat ini. Dari hasil pengamatan mata kita sendiri. Masih banyak diluar sana siswa dan guru yang masih dengan setianya menjunjung tinggi kejujuran, lebih berpikir positif dan giat mengerjakan sesuatu sendiri, dan membuat mereka bangga bahwa mereka bisa menghasilkan sesuatu dengan tangan dan pikiran mereka sendiri tanpa harus mengambil milik orang lain.
Budidayakanlah karakter kebudayaan. Berpendidikan karakter yang baik. Jangan mau menjadi korupsi cilik dengan menyandang nama Sang Plagiator. Hidup Indonesia! Hidup Mahasiswa!