PLAGIAT
JUGA KORUPSI
Oleh
: Sri Mulyani
Plagiat atau plagiator.
Tentu bukan hal asing lagi bagi kita mendengar kata-kata itu. Orang yang diberi
gelar plagiator sama halnya pencuri, karena mengambil milik orang lain tanpa
izin. Plagiator sama dengan korupsi. Sama-sama mengambil milik orang lain tanpa
rasa malu.
Bentuk plagiat yang
biasa dilakukan oleh seorang plagiator pada umumnya menjiplak atau mengambil tulisan
orang lain tanpa seizing dari hak cipta itu sendiri. Plagiator bisa disetarakan
dengan korupsi yang sama-sama merugikan pihak-pihak yang dirugikan oleh
perbuatannya yang tidak bertanggungjawab itu. Seorang korupsi, biasanya yang
dikorupsikan adalah berupa materil, dengan cara mengambil milik orang lain yang
berupa uang, dan biasanya hal ini sering dilakukan oleh pemimpin pejabat
negara, seperti anggota Dewan, Bupati, Para Menteri dibidang politik, yang
merasa kekuasaan ada diatas tangan mereka. Namun, perlu diketahui bahwa korupsi
tidak hanya biasa dilakukan oleh para pejabat negara, pemimpin negara yang
berkuasa, tetapi korupsi juga bisa dilakukan
dalam dunia pendidikan seperti guru dan dosen, siswa dan mahasiswa.
Mengapa dikatakan guru dan dosen, siswa dan mahasiswa juga bisa melakukan
praktek korupsi, padahal kita tahu bahwa menjadi guru atau dosen, menjadi siswa
dan mahasiswa apa yang mau di korupsi. Tentu timbul pertanyaan di benak kita,
gaji guru kecil, dan siswa apa yang mau dicuri, sedangkan kebanyakan dari siswa
adalah belajar belum difokuskan untuk bekerja. Jawabannya sederhana sekali.
Yakni dengan cara plagiat. Kenapa dikatakan plagiat sama halnya dengan korupsi.
Dan kenapa seorang plagiat disamakan dengan seorang korupsi. Padahal dari
struktur dan cara pengambilan hak milik orang lain, dan yang diambil pun
berbeda.
Coba kita pikir, dan
mencernanya dalam kehidupan khususnya. Semua bisa menjadi seorang korupsi.
Karena korupsi tidak hanya berbentuk uang saja tapi juga bisa dengan cara
mengambil karya orang lain. Dalam dunia pendidikan, misalnya kita contohkan
saja. Seorang guru atau dosen bisa memplagiat tulisan orang lain, misalkan saja
dalam bentuk karya ilmiah. Mengapa seorang guru atau dosen harus mengambil
karya orang lain. Bukankah dia adalah seorang guru yang berintelektual.
Bukankah dia juga bisa menghasilkan tulisan sendiri yang mungkin lebih bagus
dari apa yang dia curi.
Karya ilmiah yang telah
dicuri tentu banyak sekali kegunaannya. Bisa saja, karya itu dijadikan sebagai
bahan untuk mengisi seminar, dan kebetulan guru tersebut ditunjuk sebagai nara
sumber. Atau bisa juga, karya ilmiah yang diambil tersebut digunakan untuk
tesis (S2). Bagi guru atau dosen yang mengambil karya ilmiah orang lain, tanpa
seizing penulis aslinya, lalu dia dengan lincah dan dengan beraninya
mempresentasikan hasil tulisan itu di depan semua orang di forum seminar,
sebutkan saja. Bagi orang yang melihatnya, dia bisa dikatakan nara sumber yang
cerdas, smart dan intelektual, dan dari hasil presentasi tersebut. Dia
mendapatakan penghargaan, lalu pulang membawa amplop (uang). Uang dari hasil
mencuri karya tulis orang lain.
Penulis tidak menunjuk
siapa pelaku dan siapa orangnya, karena hal semacam ini bukanlah hal yang baru
bagi kita. Itu hanya sebagai contoh
bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang politik yang
berkuasa tetapi hal yang sederhana pun bisa dikorupsi dengan cara mengambil
karya tulis orang lain.
Siswa dan mahasiswa
juga bisa menjadi seorang korupsi, yaitu korupsi cilik yang baru belajar mengambil hak milik orang lain. Padahal,
kemajuan negara tidak hanya terletak pada kejujuran pemerintah saja, melainkan
juga ada partisipasi dari masyarakat dan peserta didik yang sedang mengenyam
ilmu agar menjadi SDM yang bermutu, berkualitas, jujur, dan berkarakter. Yang
diharapkan dapat membawa perubahan dimasa yang akan datang, serta mampu menjadi
jiwa anak bangsa yang berkarakter, menjunjung tinggi martabat bangsa, dan guru
harus bisa menjadi pembimbing yang baik, dan dapat mengasuh anak didik dengan
baik tanpa keluar dari kodrat alamnya. Seperti asas Ki Hadjar Dewantara dengan simbol
Tutwuri Handayani yang harus bisa diterapkan untuk menjadikan anak bangsa yang
berpendidikan karakter.
Bagaimana bangsa ini
akan menjadi bangsa yang berkarakter, juga berpendidikan karakter, jika siswa
dan gurunya sudah berani menjadi bagian dari korupsi. Meski hanya baru menjadi
korupsi cilik yang memplagiat tulisan
orang lain. Bagaimana mungkin kita bisa berteriak bahwa pemerintah biangnya
korupsi dan banyak mengorbankan masyarakat, sedangkan seorang siswa dan guru
saja berani melakukan plagiat. Namun, tidak semua siswa dan guru demikian. Itu
hanyalah gambaran masyarakat Indonesia saat ini. Dari hasil pengamatan mata
kita sendiri. Masih banyak diluar sana siswa dan guru yang masih dengan
setianya menjunjung tinggi kejujuran, lebih berpikir positif dan giat mengerjakan
sesuatu sendiri, dan membuat mereka bangga bahwa mereka bisa menghasilkan
sesuatu dengan tangan dan pikiran mereka sendiri tanpa harus mengambil milik
orang lain.
Budidayakanlah karakter
kebudayaan. Berpendidikan karakter yang baik. Jangan mau menjadi korupsi cilik dengan menyandang nama Sang
Plagiator. Hidup Indonesia! Hidup Mahasiswa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar