HANYA
TANAH KUBUR YANG KAU TINGGALKAN
Karya
: Sri Mulyani
Dia. Yah dia yang aku
pikirkan saat ini, yang aku rindukan, yang aku tidak tahu keadaannya, yang aku
lukiskan keindahan pribadinya, yang aku bayangkan setiap senyum manisnya. Dulu
dia selalu tersenyum ramah, yang selalu menyapa keramahan alam, menyapa
keramahan dirinya sendiri. Dia yang selalu memikirkan orang lain. Dia yang
selalu menolong dengan ketulusan, yang selalu menyapa disetiap apa yang
dijumpainya. Sekalipun itu kupu-kupu yang entah sengaja hinggap atau tidak
sengaja hinggap di pundaknya, seakan ingin mengajaknya bercanda. Dia yang
sedari kecil aku kenal dengan keunikan yang ada pada dirinya. Dia cantik juga
manja. Kebersamaan yang tak pernah terputus di mana ada dia disitu ada aku. Yah
pasti ada aku yang siap menjaganya. Tapi, sekarang aku tak tahu dia dimana, dia
yang dulu tak lepas dari penjagaan mataku, dan sekarang mataku tak mampu
menembus atau bisa menemukan dia di mana. Sekalipun itu bayangannya.
Sejak kepindahan
keluargaku ke luar kota, dikarenakan ayahku harus pindah kerja ke kota lain,
memaksaku untuk ikut keluarga pindah ke tempat ayah ditugaskan oleh
perusahaannya. Memang sedih, karena aku harus meninggalkan sahabat terbaikku
sedari kecil hingga kini sudah SMA. Lulus SMP aku harus ikut ayah pindah ke
luar kota, awalnya aku menolak untuk ikut, dan ingin di sini saja. Di kota yang
penuh kedamaian, kesederhanaan dan pastinya kota yang terkenal dengan sebutan
kota pelajar itulah kotaku Yogyakarta. Tapi, yang memperkuat aku tidak ingin
ikut keluarga pindah, yaitu Intan. Intan sahabatku sedari kecil. Tapi. Ayah
tetap memaksaku ikut dengan mereka, dengan alasan “kalau kamu di sini, siapa
yang menjaga serta mengontrolmu, ayah tidak mau kamu merepotkan nenekmu,
sedangkan kamu adalah tanggungjawab ayah. Dan kamu anak satu-satunya ayah. Ayah
ingin merawat kamu, Nak, dengan cinta kasih ayah kepadamu!” Alasan penuh
ketulusan inilah yang tak berani untukku menolaknya.
Aku pun mempersiapkan
apa saja yang akan dibawa ke kota yang baru yaitu Jakarta. Kota yang menurut
berita, kota metropolitan. Kota yang terkenal dengan kemacetan, kebanjiran, dan
gedung-gedung pencakar langit. Dari gambarannya saja aku tak menyukainya. Tapi
ya mau bagaimana lagi. Aku harus ikut, dan besok pagi tepatnya pukul 08.00 aku
dan keluarga harus terbang ke Jakarta. Karena sibuknya dengan keluarga yang
mempersiapkan apa saja yang hendak dibawah, juga ngobrol-ngobrol dengan
keluarga besar karena besok kami akan pindah. Aku lupa, bahwasanya aku punya
sahabat. Sahabat yang dimana ada dia pasti di situ ada aku. Aku lupa
mengiriminya surat, ataupun pamitan padanya. Di situ ada penyesalan, kenapa aku
bisa lupa.
Malam ini, keindahan
bintang sangatlah indah, dengan kearifannya memberi ketentraman pada setiap
jiwa yang melihatnya. Memang ia tampak kecil di kejauhan sana, di tempat
tertinggi yang siapapun sulit menjangkaunya, kecuali mereka, para Astronot. Aku
pun menikmati, mengandaikan, seandainya aku masih di Jogja, tentu aku sekarang
lagi bersama Intan. Menikmati malam berbintang ini berdua, bercanda, karena
kebetulan rumah kami berdekatan. Sudah tiga tahun aku di Jakarta, tanpa pulang
ke Jogja, tanpa kabar pula dari Intan. Kesibukanku membuat aku sedikit lupa
padanya. Namun tak kupungkiri dikala malam dan sendirian, aku merindukannya.
“Lagi apa ya Intan,
mungkin sekarang dia juga sudah kuliah, pasti dia tambah cantik, hemmm, kenapa
tidak aku main saja ke Jogja, atau aku kuliah saja di sana, sekarang kan aku
sudah lulus SMA, dan ingin masuk kuliah, kenapa aku tidak kuliah di sana,
dengan begitu aku bisa ketemu Intan lagi.” Gumamku seakan aku mengajak rumput
yang goyang berbicara.
“Ma, Mama..”
“Iya Rio, ada apa? Kok
teriak-teriak sih, sini Mama di kamar”
“Ma, Rio kan sudah
lulus SMA, dan nantinya akan masuk kuliah, hemm boleh tidak Rio memilih sendiri
mau kuliahnya dimana”
“Iya sayang, memang
kamu harus memilih sesukamu, Mama tidak mau memaksamu dalam hal ini, kamu
berhak untuk memilih sesuai dengan bakat dan minatmu, Mama dukung saja, dengan
uang, hehe” Canda Mama
“Kalau begitu, boleh
Rio kuliah di Yogyakarta”
Mama terdiam.
“Boleh yah Ma, Rio
rindu Jogja, rindu Malioboro, terutama rindu
Intan, Ma” Jawab Rio memelas
“Baiklah, kalau itu
sudah keinginanmu, nanti Mama coba bicara sama Papamu.”
“Asiikkk, makasih ya
Mamaku tersayang,” Rio langsung memeluk Mamanya
“Dasar anak manja”
“Hehehe”
Jogja. Akhirnya aku
kembali ke lingkunganmu Jogja, lingkungan yang penuh keramahan kota, keramahan
orangnya nan bersahaja. Tidak seperti disini. Setelah mendapat persetujuan dari
orangtuanya. Rio pun tak ingin memperpanjang waktu. Dia langsung bergegas
bersiap-siap untuk pergi ke Jogja dan kuliah disana. Tepatnya siang nanti,
pukul 13.00 Rio akan terbang ke Jogja dengan pesawat Lion Air. Tidak harus menunggu berjam-jam untuk tiba di Jogja, belumlah
habis satu lagu yang di dengarnya. Pesawat sudah sampai. Betapa gembiranya hati
Rio, karena akhirnya dia bisa kembali ke Jogja. Awalnya dia akan menginap di
rumah nenek. Tetapi, di perjalanan dia berpikir lain. Kembali dia teringat
Intan. Sebaiknya aku ke rumah Intan terlebih dahulu, sambil memberi kejutan,
karena sudah 3 tahun lamanya kita berdua tanpa kabar. “Pasti sekarang dia sudah dewasa, dan cantik, bisa-bisa aku
suka padanya, hehe” Gumamku.
Tanpa sadar, lamunan
Rio telah membawa dia ke depan rumah kecil, dan sederhana, rapi, dan indah
karena di depan rumah itu terdapat halaman kecil yang ditanami bunga-bunga yang
semakin mempercantik rumah mungil itu. Tapi, kok sepi ya. Tanpa pikir panjang
Rio pun turun.
“Assalammualaikum” Rio
mengetuk rumah itu dengan diikuti ucapan salam
Lama tak terdengar ada
orang menjawabnya, Rio pun kembali mengucapkan salam dan tak jua menemukan
jawaban. Kemana ya orang di rumah ini. Intan juga kemana kok dia tidak
membukakan pintu. Lalu, aku berinisiatif untuk bertanya dengan tetangga.
“Pak, maaf, mau numpang
tanya.?”
“Oh ya, mau tanya apa
ya, Mas”
“Pak Bowo pemilik rumah
itu kemana yah, kok sepi sekali. Intan juga tidak ada sepertinya”
“Oh pak Bowo. Biasanya
pak Bowo dan istrinya, Bu Lastri. Kalau hari jum’at sore sering ke pemakaman”
“Ke pemakaman, memang
siapa yang meninggal, Pak. Kalau boleh saya tahu?”
“Yang meninggal anak
Pak Bowo yang satu-satunya itu, Intan. Ya sekitar satu 2 minggu yang lalu.
Kalau boleh saya tahu. Mas ini siapa yah?”
Lama Rio tak menjawab
pertanyaan Bapak itu. Dia tenggelam dalam ombak yang menggulung dirinya yang
siap membawanya pergi jauh di kedalaman lautan. Setetes demi tetes airmatanya
jatuh bak hujan yang jatuh kebumi tanpa ada yang mampu menghalanginya. Teriakan
hati, menjerit bak pentir yang siap menyambar dan melululantahkan apa yang ia
benci. Hatinya hancur, harapannya sia-sia. Kebahagiaan karena ingin berjumpa
dengan seorang sahabat yang amat dia sayangi, penantian panjang pun lebur
dengan sekajab saja tanpa penuh rasa kasihan sedikitpun.
“Saya Rio, Pak.
Temannya Intan dari Jakarta. Terimakasih Pak atas informasinya. Dan sebaiknya
saya menyusul saja ke makamnya”
Sambil berjalan Rio tak
hentinya menangis, kenapa Intan meninggalkanku. Kamu jahat Intan, bukankah kau
berjanji persahabatan kita tidak akan terpisahkan. Intannnn……teriaknya penuh
penyesalan karena meninggalkan Intan ke Jakarta begitu saja tanpa pamit
padanya. Tibanya di pemakaman. Rio mendapatkan Pak Bowo dan Bu Lastri sedang
mendoakan Intan. Tampak sekali wajah penuh kehilangan di kedua wajah orang tua
itu.
“Assalammualaikum, Pak”
Sapa Rio
“Waalaikumsalam” Kedua
orang tua itu menjawab sembari menoleh, siapa yang datang. Ada suatu
kepanglingan di antara wajah kedua orangtua itu melihatku.
“Kamu siapa ya, Nak?”
Tanya mereka
“Bapak dan Ibu tidak
mengenali saya,? Saya Rio Pak, Bu. Temannya Intan dulu. Teman Intan sedari
kecil hingga kami SMP, dan SMA saya pindah ke Jakarta karena ikut orangtua.”
“Owalah Nak Rio toh, kapan sampai Jogja,?”
“Baru saja, Pak, Bu.
Tadi saya ke rumah Bapak dan Ibu. Kata tetangga mungkin Bapak sama Ibu ada
disini, lalu saya menyusul dan ternyata benar. Bapak dan Ibu memang ada disini.
Kalau boleh saya tahu Pak, apa yang menyebabkan Intan meninggal. Apakah dia
sakit,?” Tanya Rio ingin tahu
“Iya, Nak. Intan sakit.
Dia mengindap kanker otak stadium akhir. Kami, orangtua tidak tahu kalau Intan
mengindap penyakit yang membahayakan itu. Karena anaknya tampak selalu sehat. Tapi
memang seminggu terakhir, dia sering mengeluh karena sakit kepala. Sering kami
ajak ke dokter tapi dia menolak dengan alasan hanya pusing biasa, mungkin
karena kecapek’an. Tapi ternyata, Intan mengindap kanker ganas. Sudah dua
minggu dia pergi dari kita. Tapi, sebelum dia pergi. Tempo hari, dia pernah
cerita sama ibu. Kalau dia rindu sama Nak Rio. Dia sering bertanya kok Rio
jahat yah Bu, tidak pernah mau lihat Intan lagi disini. Pergi tanpa pamit sama
Intan. Eh tidak tahunya dia pidah ke Ibu kota. Itupun kalau Intan tidak mencari
tahu ke rumah neneknya, mungkin Intan tidak tahu dia hilang kemana. Begitulah
Nak ceritanya. Intan sangat kehilangan Nak Rio 3 tahun ini. Dia lebih suka
murung di kamar, tidak pernah keluar rumah, dan lebih suka menulis buku Diary.”
“Maafkan saya Bu,
kemarin Rio buru-buru. Kalau boleh Rio mintak sesuatu, boleh tidak Rio meminjam
buku Diary Intan. Sebagai balasan rasa rindu Rio pada Intan.”
“Oh boleh, Nak. Ayo
kita pulang kerumah Ibu”
Mereka pun akhirnya
pulang, tidak butuh waktu yang lama untuk sampai ke rumah Intan. 15 menit sudah
mereka berbincang menuju rumah. Kini mereka sudah ada di depan pekarangan
rumah. Bu Lastri langung masuk rumah dan mengambil buku Diary milik Intan.
Setelah memberikannya kepada Rio. Rio pun pamit pulang ke rumah neneknya.
Karena daritadi neneknya sudah menelpon. Khawatir kok belum sampai juga
kerumah. Rio pun pulang dengan membawa buku Diary milik Intan. Paling tidak ada
suatu benda yang bisa membawanya kepada Intan. Yang siap membalas rasa rindunya
kepada Intan. Sahabat karibnya itu.
Setiba di rumah nenek.
Rio di sambut gembira oleh nenek dan langung menyuruh Rio makan. Usai makan Rio
permisi untuk istirahat. Karena merasa sangat lelah. Bukan kelelahan fisik,
melainkan kelelahan hatinya dalam menunggu perjumpaannya dengan seseorang yang
akhirnya orang yang ia sayangi telah pergi meninggalkannya. Ini pembalasan yang
jauh lebih kejam daripada apa yang telah dia lakukan dengan Intan. Dia masih
bisa pergi ke Jakarta dan kembali pulang ke Jogja. Nah kalau Intan, mana
mungkin bisa pulang ke Jogja, termasuk ke sudut kecil disisi kota manapun.
Ungkapnya dalam hati.
Sambil berbaring, Dia membuka
lembar demi lembar buku Diary itu. Sesekali dia tertawa karena menemukan
tulisan Intan yang lucu mengocok perutnya. Sesekali juga dia menyesal, karena
mendapati tulisan Intan yang menyeyet hatinya. Disitu dituliskan “Rio Jahat
sudah meninggalkan Intan”. Maafkan aku Intan, bukan maksudku seperti itu. tapi,
mau apa lagi, tak ada alat yang bisa kubuat untuk memutar waktu kembali ke
masadulu, jika alat itu ada, pasti sudah ku putar kembali, dan tidak akan kutinggalkan
kamu lagi. Lalu dia melanjutkan lagi membuka lembar demi lembar Diary Intan.
Ada sesuatu yang membuat dia kaget, sedih, menyesal, menangis, dan tentu
sesuatu yang dia tidak percaya pada tulisan intan :
Dear
Rio
Temanku,
sahabatku, pahlawanku, Yang selalu ada kemanapun aku berada, Yang selalu
menjagaku, dan yang selalu menyayangi aku. Dulu, saat kita masih kecil. Kamu
selalu membelikan aku ice cream, selalu membonceng aku ke sekolah pakek sepeda.
Dan dulu kita di bilang pacaran. Saat itu kita sempat marah, karena dulu kita
masih terlalu kecil untuk memahami dan mengetahui apa itu pacaran.
Dulu
selalu kudapati kamu, kapanpun aku membutuhkanmu, kamu selalu menjagaku tanpa
aku memerlukanmu, kamu selalu menghiburku dengan tingkah konyolmu itu. walau
saat itu, aku tidak dalam keadaan sedih.
Tapi
sekarang, aku tidak tahu kamu dimana Rio-ku, Rio yang selalu menjaga aku, Rio
yang selalu membelikan aku ice cream, Rio yang selalu membonceng aku, Rio yang
selalu membuat aku tertawa, dan Rio yang selalu membuat aku bahagia. Kamu
dimana Rio. Kamu dimana?
Aku
berteriak memanggilmu disini, tapi kamu tidak juga datang, tidak seperti dulu.
Aku memohon kamu menemui aku, tapi kamu diam saja disana, seakan kamu tidak
mendengar suara parauku memanggilmu. Aku menangis merindukanmu, tapi kamu
tertawa di sana. Aku menyanyangimu Rio. Aku butuh kamu. Tapi, kamu pura tak
mendengar teriakanku. Aku sakit Rio. Tapi, kamu diam saja tanpa berbuat
sesuatu. Kamu jahat. Kamu jahat.
Sayang,
yah baru saja aku menuliskan kata sayang. Mengungkapkan rasa sayang di buku
ini. aku sendiri tidak mengerti Rio, rasa sayang apa ini, rasa sayang sahabat
atau rasa sayang karena sekarang kita sudah dewasa dan mengerti cinta.
Entahlah, tapi benar ini adanya, aku menyayangimu, aku kehilanganmu yang dulu
selalu menjagaku. Kau sahabat karibku. Kamu ingat Rio, pernah kita mengucapkan
ikrar. Bunyinya “Dimana ada Intan, disitu harus ada Rio”, juga “Dimana ada Rio
disitu juga harus ada Intan” lalu kita berteriak yeee sahabat selamanya.
Rio,
banyak cerita yang ingin aku ceritakan kepadamu, tapi kenapa kamu tutup telinga
di sana. Aku juga ingin mengajakmu main. Tapi, kamu terlalu sibuk di sana. Aku
juga ingin mengajakmu makan nasi kucing di sini. Di angkringan Pak Towo,
ingatkan!. Tapi, mungkin kamu sudah lupa sama makanan Jogja seperti itu. Aku
ingin kamu pulang, dan kembali. Tapi, sepertinya memang kamu telah pergi. Kalau
begitu aku juga ingin pergi Rio, jika kau begitu. Aku sendirian disini.
Sedangkan aku selalu hidup bila bersamamu. Pulanglah Rio, temui aku dalam
penantianku ini, atau aku juga akan pergi. Pergi bersama kerinduanku padamu.
Dan biarlah angin yang membawamu kesini.
Aku
tidur dulu ya Rio. Hari juga sudah malam. Aku lelah menunggumu setiap malam,
juga setiap hari. Tapi kau tak kunjung datang. Aku mau tidur, semoga Tuhan
memelukku, seperti halnya dulu kamu memelukku saat aku jatuh dari pohon
rambutan di belakang rumahku. Saat itu kita jatuh bersama dan tertawa. Tapi
saat ini, aku ingin di peluk Tuhan bersama kesedihanku karena kau terlalu jahat
dan sudah terlalu lama meninggalkanku. Hingga aku pun mati, hatiku mati,
hidupku mati. Pulanglah Rio. Temui aku, dapati aku, dan bangunan aku.
By INTAN
Intan. Maafkan aku
Intan, aku juga menyayangimu. Aku menyayangimu lebih dari sekedar sahabat.
Semoga Tuhan lebih menyayangimu di sana. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi
yang sempurna untukmu. Tapi, Tuhan akan menyempurnakan cintaku padamu. Cinta
yang dulu tumbuh karena persahabatan, dan sekarang cinta itu tumbuh. Karena
kedewasaan kita. Meski aku teramat menyesal, karena terlambat mendapatimu, Intan.
Belum sempat juga mengatakan cinta padamu. Ternyata ada yang lebih dulu
menyayangi dan menginginkanmu. Yaitu Dzat Yang Maha Sempurna, yang lebih bisa
memberi kesempurnaan cinta. Yang lebih kekal. Semoga cinta Tuhan telah engkau
dapatkan di sana sebagai penebus kesalahanku padamu. Dan sebagai penebus
penantian panjangmu padaku.
Yogyakarta, 04 Januari 2013; 00:45 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar